Tren kenaikan harga pangan dunia seharusnya jadi titik balik bagi pemerintah untuk berani menyatakan stop impor pangan dan mulai beralih memacu produktivitas beraneka ragam pangan lokal, seperti padi, jagung, sagu, dan singkong.
Apalagi di beberapa daerah secara turun-temurun sudah mengonsumsi jenis makanan tersebut dan merupakan bagian dari budaya mereka, seperti sagu di Sulawesi, Ambon, dan Papua.
Upaya mengangkat kembali pangan lokal dinilai sangat menguntungkan karena secara otomatis terjadi diversifikasi dan tidak bergantung pada satu komoditas seperti padi.
Di sisi lain, dengan beralih kembali ke pangan lokal, devisa negara akan lebih hemat karena tidak digunakan untuk membeli produk petani di luar negeri, tetapi justru dimanfaatkan untuk semakin memberdayakan petani di seluruh pelosok Nusantara.
Dengan demikian, produktivitas sektor pertanian semakin meningkat sehingga berkontribusi pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), memperbaiki kesejahteraan para petani, membuka lapangan kerja di perdesaan, sehingga mengurangi pengangguran, bahkan bisa mengurangi kesenjangan pendapatan.
Manajer Program dan Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Minggu (10/4), mengatakan kalau dari dulu pangan lokal benar-benar diperkuat, harga pangan global yang tinggi sebetulnya tidak terlalu menjadi persoalan bagi Indonesia.
Meskipun terlambat, kata Maulana, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk merefleksi kebijakan perjanjian perdagangan internasional dengan negara lain, sembari memperkuat produksi di dalam negeri.
“Sering kali perjanjian perdagangan yang ditandatangani Indonesia itu justru membuka akses pasar dan impor sebesar-besarnya. Ini akan berdampak pada ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Apabila harga pangan global naik, akan berdampak juga pada kenaikan harga pangan yang diimpor,” kata Rahmat.
Kebergantungan pada pangan impor, jelasnya, memberi dua dampak yang tidak menguntungkan. Pertama, kebergantungan pada pangan impor, dan kedua, harga pangan ditentukan oleh pasar yang merugikan konsumen.
Pelaku Utama
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan pemerintah harus memanfaatkan momentum Presidensi G20 untuk mengurangi kebergantungan impor pangan. “Manfaatkan momentum ini untuk perkuat produksi pangan lokal, sagu, singkong, jagung, dan sebagainya, entah melalui kerja sama teknologi atau sejenisnya,” kata Said.
Indonesia, jelasnya, punya peluang untuk menjadi pelaku utama pangan pada tingkat regional maupun global jika pangan dalam negeri diperkuat di masing-masing daerah.
“Selama ini kesempatan itu ada, tetapi akibat kuatnya pengaruh pemburu rente makanya tidak berjalan,” kata Said.
Dengan menggalang dukungan ke negara-negara G20, Indonesia bisa memperkuat posisi ekonomi politik pangan agar tidak lagi hanya sebagai sasaran pasar pangan yang empuk.
Pada kesempatan terpisah, Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan perang Ukraina berpotensi menimbulkan krisis pangan karena sekitar sepertiga gandum dunia berasal dari Ukraina dan Russia.
“Perang Russia dengan Ukraina ini bukan hanya menimbulkan masalah pengungsi, tapi juga bisa berkembang menjadi krisis pangan karena kedua negara ini adalah produsen gandum besar. Hampir 30 persen kebutuhan gandum global dipasok oleh gabungan keduanya,” kata Ramdan.
Perang, jelasnya, akan mengganggu pasokan karena baik kegiatan tanam dan distribusinya juga ikut terhambat. Kendala itu akan membatasi pasokan gandum dunia dan akan mendorong beberapa harga pangan naik karena banyak yang berbahan baku gandum, seperti roti, mi, atau sereal.
“Fenomena ini harus diambil hikmahnya supaya kita jangan bergantung lagi dengan gandum impor. Produk-produk subtitusi harus dibangkitkan, bisa melalui program food estate,” tuturnya.
)*sumber : https://koran-jakarta.com/saatnya-stop-impor-dan-beralih-kembali-ke-pangan-lokal?page=all