Hentikan Perjanjian Perdagangan Bebas yang Kian Mengebiri Hak-Hak Buruh
Jakarta, 1 Mei 2022 – Buruh merupakan penggerak ekonomi negara. Tanpa ada kerja – kerja dari buruh maka perekonomian akan mengalami stagnasi. Produksi barang terhenti, distribusi tersendat, serta melemahnya tingkat konsumsi pada suatu negara. Semua komoditas yang kita pakai dan gunakan merupakan hasil karya dari tangan – tangan terampil kelas buruh. Begitu vitalnya peran buruh dalam tatanan ekonomi yang saat ini sangat kapitalistik. Sering kita jumpai bahwa kondisi buruh justru berada dalam kondisi yang belum layak. Hampir setiap waktu kita mendengar kasus PHK banyak terjadi, perjuangan upah yang dilakukan oleh buruh setiap tahunnya, juga status kerja selalu menjadi problem yang tidak pernah lepas dari sektor perburuhan.
Kini, perjuangan buruh semakin menemui hambatan baru. Pemerintah Jokowi/Ma’ruf Amin telah menerbitkan UU Cipta Kerja atau yang biasa disebut Omnibus Law. Omnibus Law sangat sarat dengan kepentingan Korporasi baik nasional maupun internasional. Dengan berbagai aturan turunannya dampak dari Omnibus Law sangat merugikan kelas buruh seperti pembatasan kenaikan upah yang sangat rendah, pengurangan nilai pesangon, hingga semakin fleksibelnya status kerja bagi buruh.
Semangat dalam sejarah May Day
May Day merupakan Hari Buruh Sedunia. Hari dimana peringatan ini diperingati oleh gerakan buruh di semua negara. Hari yang menjadi tonggak sejarah bagi perjuangan kelas buruh di dunia. Sejarah May Day berawal dari pemogokan kelas buruh di Amerika Serikat menuntut diberlakukannya 8 jam kerja. Pemogokan dimulai sejak tanggal 1 Mei 1886 di Chicago. Beberapa hari setelahnya pemogokan terus berlanjut hingga tanggal 4 Mei terjadi represi di lapangan Haymarket yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa dari buruh. Sejak itulah kemudian 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia.
Menurut Herman Abdul Rohman Ketua Umum Kesatuan Perjuangan Rakyat, Mayday membawa semangat perjuangan dan pengorbanan kelas buruh dalam peristiwa itulah yang terus dijaga hingga saat ini. Perjuangan yang masih akan sangat panjang melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan seperti yang sudah disampaikan diatas.
Senada dengan Herman, Muslim Silaen dari Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan IGJ sebagai kelompok masyarakat sipil yang terus menyuarakan keadilan sosial bagi rakyat merasa penting untuk menyampaikan sikap dalam peringatan May day 2022 ini. IGJ memandang bahwa situasi hari ini negara telah melepaskan peran dan tanggung jawabnya kepada rakyat terutama kelas buruh. Negara hanya menjadi penonton bahkan menjadi fasilitator bagi kepentingan korporasi untuk meraup keuntungan yang lebih besar sementara nasib kelas buruhnya semakin ditekan hingga ke titik yang paling rendah.
Pelaksanaan UU Cipta Kerja adalah Ilegal
26 November 2020 telah diputus melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 jika UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi oleh mahkamah konstitusi. UU tersebut tetap dipakai sebagai landasan hukum di indonesia sehingga menimbulkan kekacauan Hukum. Pemerintah bersikeras mensosialisasikan UU Cipta kerja dengan Surat Edaran (SE) No. 188/1518/OTDA tentang Identifikasi Perda dan Perkada dan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Teknis Aparatur Sipil Negara. Membuat banyak pelaksanaan UU Cipta Kerja semakin dianggap tetap sah.
Buruh Sepanjang tahun 2021 hingga 2022 mengalami banyak kesulitan, seperti soal hak atas pekerjaan yang layak, hak atas pengupahan layak hingga perlindungan sosial yang layak. Dengan adanya UU Cipta kerja di perlihatkan pengaruh dari UU ini membuat buruh mengalami degradasi Hak. Seperti hubungan kerja longgar membuat banyak buruh di putus hubungan kerja dengan legitimasi PP No.35/2020. Hak atas upah yang layak dipangkas dengan formulasi upah yang tidak sesuai kebutuhan buruh disahkan dengan PP No.36/2020. Hingga jaminan kehilangan pekerjaan yang menjadi kebijakan perlindungan semu pada PP No.37/2020.
Herman Abdul Rahman menyoroti setelah disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja memicu maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan massal kepada pekerja. Sepanjang jjanuari hingga agustus 2021 tercatat 538.305 orang terkena PHK, di tengah lemahnya supremasi hukum yang melindungi pekerja dan karena perkembangan digitalisasi yang telah diadopsi oleh Perusahaan, akan memiliki implikasi buruk pada pekerja dalam hal seperti pengurangan tenaga manusia. UU cipta kerja sendiri terlihat masih belum dapat mengangkat kondisi rentan ekonomi buruh, terutama yang bekerja secara informal. Hal ini berpotensi menjadikan banyak buruh informal sebagai tentara cadangan pekerja (reserve army of labour) bagi pengusaha yang berdampak memperlemah posisi tawar kelas buruh di sektor formal. Herman juga menambahkan Di Tengah ancaman ini buruh juga semakin terancam dengan upaya perubahan pasal 5-10 UU No.21/2020 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Berbagai kebijakan yang muncul tidak akan membuat kekuatan buruh bertambah, hal ini akan membawa iklim industri yang tidak menguntungkan buruh Indonesia.
Di dalam praktiknya Herman Abdul Rohman menambahkan jika kebijakan dipaksakan oleh pemerintah terutama tentang pemakaian UU Cipta Kerja. Seperti dalam sengketa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sengketa kepentingan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), hingga sengketa Hak atas Upah. Pemerintah bersikeras tetap mengacu pada UU Cipta Kerja, seperti di Cikarang Kabupaten Bekasi terdapat 5 perusahaan yang telah mencapai mufakat antara serikat pekerja dan pengusaha kemudian ditolak oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi karena tidak melampirkan UU Cipta Kerja sebagai konsideran dalam perjanjian.
Muslim Silaen menjelaskan bahwa pelaksanaan UU Cipta Kerja dalam ruang lingkup hukum nasional adalah tindakan ilegal. Hal ini menabrak banyak kaidah hukum di Indonesia. Dampaknya secara sosial membuat ketidakpastian hukum terhadap rakyat. Sehingga akan banyak pelanggaran yang terjadi di lapangan seperti yang terjadi kepada buruh indonesia. Dengan liberalisasi perdagangan bebas yang membuat buruh menghadapi mekanisme longgar dalam proses bekerja sesuai keinginan investor. Ini merupakan tindakan yang menghasilkan preseden buruk kepada tata hukum nasional.
Liberalisasi perdagangan menambah ketimpangan sosial
Situasi demikian akan semakin diperparah dengan adanya perdagangan bebas dalam bentuk Free Trade Agreement (FTA) yang diikuti oleh negara Indonesia dengan berbagai negara atau dengan lembaga Multilateralisme seperti WTO. Liberalisasi barang dan jasa, kebijakan perdagangan, hingga digitalisasi akan semakin memojokkan posisi kelas buruh ke tempat yang paling termarginalkan. Sungguh berbanding terbalik dengan jasa kaum buruh yang menghasilkan pundi kekayaan bagi korporasi dan pendapatan negara dengan nasib yang diterima oleh kaum buruh itu sendiri.
Liberalisasi perdagangan di masa pandemi semakin diperluas, alasannya adalah untuk mendorong peningkatan investasi demi menciptakan lapangan kerja. Setelah pandemi paling tidak ada perjanjian RCEP telah disetujui negara anggota, IEU CEPA yang sedang menuju perundingan ke 12 hingga Konferensi Tingkat Menteri di WTO. Berbagai model baru liberalisasi menjadi jurus untuk menyelamatkan ekonomi.
Herman Abdul Rohman menanggapi banyaknya FTA dari indonesia menyebutkan jika kebijakan perdagangan yang berorientasi pada pasar bebas membuat buruh tersandera pada skema kerja yang sangat longgar, hal ini membuat kualitas kehidupan kerja buruh juga semakin menurun. Disisi lain model investasi mendorong informalisasi pekerja, ini membuat pekerja di indonesia mengalami kehilangan jaminan kerja yang layak.
Muslim Silaen turut menuntut agar negara hadir dalam pemenuhan hak ekonomi sosial politik rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan termasuk Perjanjian – perjanjian yang dilakukan negara harus menempatkan kepentingan rakyatnya sebagai landasan dalam setiap keputusan. Negara harus menolak terhadap setiap kepentingan korporasi dan negara asing yang merugikan kepentingan nasional. Negara harus berdaulat dan mengabdikan dirinya sebagai pelayan rakyatnya.
Menanggapi hal tersebut Herman melihat ada beberapa hal penting yang perlu diperbaiki; Pertama, pentingnya penguatan industrialisasi dan industri manufaktur dalam pekerjaan formal dengan memperkuat sektor publik menggunakan investasi publik. Kedua menggunakan industrial policy untuk membangun struktur ekonomi yang koheren dan menciptakan sinergi antar-sektoral (inter-sectoral synergy). Ketiga, memastikan bahwa hasil pembangunan ekonomi dapat dinikmati oleh publik dan didistribusikan dalam masyarakat secara lebih adil dan merata.
Pada akhirnya IGJ bersama KPR mengucapkan Selamat Hari Raya Buruh Sedunia (May Day) 2022. Mari kita bergandengan tangan dan saling menguatkan serta membangun kekuatan masyarakat sipil yang akan terus berjuang dan merebut hak – hak rakyat tertindas.
Informasi Lebih lanjut:
Muslim Silaen : 0858-4299-0045
Herman Abdurrahman, Ketua Umum KPR: 0822-1342-6109