• id Indonesia
  • en English
Kamis, Februari 9, 2023
  • TENTANG KAMI
Indonesia for Global Justice
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
“A Global Justice Order through Social Movements”s
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
Home Fokus Pemantauan RCEP

Ekonomi Rakyat Terdampak, DPR Harus Menjalankan Amanat Konstitusi Dalam Membahas Perjanjian RCEP

November 17, 2020
in RCEP, Rilis Media
Reading Time: 5 mins read
Ekonomi Rakyat Terdampak, DPR Harus Menjalankan Amanat Konstitusi Dalam Membahas Perjanjian RCEP
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Rilis Merespon Perjanjian RCEP

Jakarta, 17 November 2020 – Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia mengecam tindakan Pemerintah Indonesia yang menandatangani perjanjian RCEP pada 15 November 2020 ditengah pandemik yang tidak dilakukan secara hati-hati yang berpotensi berdampak terhadap menyempitnya ruang fiskal negara untuk bisa memiliki kemampuan mengatasi persoalan covid19. Hal ini sebelumnya juga telah ditegaskan oleh Ekonom Senior UNCTAD, Rashmi Banga, dalam webinar pada (10/11) mengenai dampak RCEP terhadap Negara Berkembang.

Dampak RCEP Terhadap Sektor Perikanan

Salah  satu  sektor  yang  terdampak  dalam  perjanjian  RCEP  ini  adalah  sektor perikanan. KIARA melihat ketidakterbukaan pemerintah terkait narasi perjanjian RCEP  ini  jelas  akan  merugikan  banyak  aktor-aktor  produsen  kecil,  khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Tidak hanya kemudian perjanjian ini akan mendatangkan lebih banyak investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya di sektor pesisir dan maritim, namun RCEP juga akan memberikan peluang yang lebih besar terhadap praktek IUU fishing yang ada di perairan Indonesia.

Sekertaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Susan Herawati, menyatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian RCEP ini hanya akan meningkatkan praktek perampasan ruang yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Perjanjian  RCEP  tidak  hanya  berbicara  mengenai  aktivitas  perdagangan  ekspor impor saja, dan hal ini tentu akan berdampak secara mendalam terhadap nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia. Sebagai contoh adalah bab ROO (Rules of Origin) yang mana akan berdampak pada peningkatan praktek IUU fishing dan pencurian ikan  di  perairan  Indonesia.  Secara  tidak  langsung,  upaya  pemerintah  Indonesia selama beberapa tahun terakhir dalam memerangi pencurian ikan dan praktek IUU fishing seakan tidak ada artinya” jelas Susan.

Secara  lebih  lanjut,  Susan  menjelaskan  bahwa  dengan  meningkatnya  potensi praktek pencurian ikan dan IUU fishing di perairan Indonesia, maka hal ini juga akan berdampak pada praktek kerja paksa dan perbudakan modern terhadap abk-abk kapal  di  industri  perikanan  tangkap.  Hal  ini  tentu  tidak  dapat  dikesampingkan karena  pada  mayoritas  praktek  IUU  fishing maka  aka  nada  praktek  perbudakan modern juga pada kapal penangkapan ikan tersebut.

DPR Harus Menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi

Indonesia for Global Justice (IGJ) juga mendesak kepada DPR RI untuk tidak memberikan persetujuan terhadap Perjanjian RCEP tanpa adanya analisis dampak dari  teks  RCEP  secara  komprehesinve  untuk  memastikan  dampak  yang  akan dihadapi oleh Indonesia di masa depan dan dalam jangka waktu panjang.

Direktur  Eksekutif  Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan bahwa DPR RI sangat memegang kunci kedaulatan rakyat Indonesia dan sudah seharusnya DPR RI membahas RCEP secara hati-hati serta melakukan analisis dampak yang komprehensive terhadap kehidupan generasi rakyat Indonesia di masa depan.

“DPR RI harus menganalisis teks RCEP diluar dari nilai ekspor dan impor, tetapi harus dilakukan terhadap seluruh aturan detail dari puluhan babyang telah disepakati. Hal ini  karena  perjanjian  yang  komprehensive  seperti  RCEP  memiliki  konsekuensi  isi aturan yang harus diadopsi ke dalam regulasi nasional, dan ini akan berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan negara dan kedaulatan negara untuk menyusun peraturan perundang-undangan nasional untuk melindungi kepentingan rakyat serta berpotensi bertentangan dengan Konstitusi”, jelas Rachmi.

Lebih   lanjut   Rachmi   menambahkan   bahwa   Pemerintah   dan   DPR   juga   harus membuka   teksnya   kepada   publik   dan   melibatkan   publik   secara   luas   dalam pengambilan keputusan untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi Perjanjian RCEP.

“publik wajib dilibatkan dalam melakukan analisis dampak terhadap teks RCEP, sehingga ketersediaan dan transparansi teks RCEP sangat krusial. Termasuk, menjadikan  masukan  analisis  publik  sebagai  bahan  pertimbangan  dalam pengambilan keputusan wajib dilakukan oleh DPR RI, untuk memastikan bahwa RCEP tidak akan bertentangan dengan Amanat Konstitusi UUD RI 1945. Hal ini sejalan dengan   Putusan   MK   13/PUU-XVI/2018tentang   Perjanjian   Internasional”,   tegas Rachmi.

Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 telah menegaskan bahwa dalam hal memutuskan sebuah perjanjian internasional memerlukan atau tidak memerlukan persetujuan DPR RI, maka DPR RI harus melakukan penilaian analisis dampak secara komprehensive terhadap sebuah perjanjian internasional. Hal ini bertujuan untuk menilai sebuah perjanjian internasional berpotensi menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang sesuai dengan kriteria dalam pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945. Secara tidak langsung, hasil analisis  dampak  ini  menjadi  bahan  pertimbangan  utama  bagi  DPR  RI  untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap ratifikasi perjanjian internasional.

Pertimbangan penting lainnya adalah Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018  harus  menjadi  landasan  DPR  RI  dan  Pemerintah  untuk mengambil    keputusan    tentang    Perjanjian    RCEP,    khususnya    tentang    tujuan keikutsertaan  dalam  perjanjian  internasional,  yaitu  ikut  melaksanakan  ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, secara a contrario pemerintah Indonesia wajib menentang (setidak-tidaknya tidak boleh ikut serta) dalam upaya-upaya yang mengatasnamakan   ketertiban   dunia   jika   bertentangan   dengan   kemerdekaan, perdamaian  abadi, dan keadilan sosial. 

“Putusan MK No,13/PUU-XVI/2018 tentang UU Perjanjian Internasional sudah sangat jelas  menyatakan  bahwa  perjanjian  internasional  termasuk  perdagangan internasional yang bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bertentangan dengan Konstitusi, untuk itu wajib ditolak. Inilah Amanat  Konstitusi  yang  wajib  dilaksanakan  oleh  DPR  RI  dan  Pemerintah”,  tegas Rachmi. 

****

Keterangan:

Lebih    lengkap    kajian    implikasi    hukum    putusan    MK    dapat    diakses    disini:

https://igj.or.id/implikasi-hukum-atas-putusan-mahkamah-konsitusi-nomor-13- puu-xvi-2018/

Kontak:

•      Rachmi Hertanti, Direktur IGJ, +62 817-4985-180

•      Susan Herawati, Sekjend KIARA, +62 821-1172-7050

PDF 📄
Tags: PerikananRCEP
Previous Post

RCEP Akan Memperburuk Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi

Next Post

Siaran Pers: Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Sejak Proses Pembentukannya

Related Posts

DAMPAK BURUK BAGI NELAYAN BERSKALA KECIL
Artikel

DAMPAK BURUK BAGI NELAYAN BERSKALA KECIL

Juni 7, 2021
Liberalisasi Investasi Dalam RCEP Harus Dikaji Lagi Sebelum Diratifikasi
Publikasi

Liberalisasi Investasi Dalam RCEP Harus Dikaji Lagi Sebelum Diratifikasi

Februari 24, 2021
Load More
Next Post
Aksi Tolak Omnibus Law, Jakarta 2020 (Doc.IGJ)

Siaran Pers: Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Sejak Proses Pembentukannya

Please login to join discussion

covid-19 widget

Popular Post

  • Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    2607 shares
    Share 1043 Tweet 652
  • Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    2593 shares
    Share 1037 Tweet 648
  • Penenggelaman Kapal Asing

    2236 shares
    Share 894 Tweet 559
  • DIPLOMASI VAKSIN COVID-19 INDONESIA: “Tantangan Akses Publik Atas Vaksin dan Layanan Kesehatan Berkeadilan”

    1192 shares
    Share 477 Tweet 298
  • Cerita Dari Pelosok Negeri: Aksi Kolektif Gerakan Sosial Indonesia Merespon Covid19

    1106 shares
    Share 442 Tweet 277
  • PERDAGANGAN & INVESTASI
  • BISNIS & HAM
  • DIGITAL EKONOMI
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • ARTICLE MONITORING
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
  • id Indonesia
  • en English

Indonesia For Global Justice© 2020

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used.