• id Indonesia
  • en English
Kamis, Februari 9, 2023
  • TENTANG KAMI
Indonesia for Global Justice
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
“A Global Justice Order through Social Movements”s
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
Home IGJ On Media

EKSPOR – IMPOR DPR Didesak Tunda Ratifikasi Perjanjian Perdagangan Internasional

Maret 15, 2019
in IGJ On Media, news, Uncategorized, Update From Koalisian
Reading Time: 3 mins read
EKSPOR – IMPOR  DPR Didesak Tunda Ratifikasi Perjanjian Perdagangan Internasional

Konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi, Kamis (14/3)

1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

JAKARTA, KOMPAS – Koalisi masyarakat sipil untuk keadilan ekonomi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menunda proses ratifikasi berbagai perjanjian perdagangan internasional. Pasalnya, tanpa kajian mendalam dan komprehensif, perjanjian perdagangan internasional bisa berpotensi merugikan masyarakat.

Catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga Maret 2019, terdapat 12 perjanjian perdagangan internasional yang berada dalam tahap ratifikasi. Beberapa di antaranya, yaitu perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia-Australia (IA-CEPA), perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia-European Free Trade Association (Indonesia-EFTA CEPA), dan perjanjian ASEAN dalam perdagangan elektronik.

“Berbagai perjanjian perdagangan internasional ini tidak hanya mengatur ekspor-impor, namun mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya hak kekayaan intelektual, pertanian dan pangan, kesehatan, pendidikan, ekonomi digital, dan sebagainya. Maka, pembahasan secara komprehensif oleh DPR RI mutlak dilakukan,” kata Direktur Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).

Aturan waktu terkait proses ratifikasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam Pasal 84 ayat 4 dikatakan, apabila DPR RI tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR RI.

Rachmi menyoroti, dalam masa menjelang pemilihan umum serentak pada 17 April 2019, fokus anggota parlemen tentu akan menjadi bias. Ia menilai, jika DPR RI terburu-buru dalam meratifikasi atau memutuskan tidak diperlukan persetujuan DPR, maka rakyat akan menanggung dampaknya.

Desakan ini disampaikan dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi dengan tema “Banyak FTA akan Diratifikasi, Nasib Rakyat Terabaikan Akibat DPR Sibuk Kampanye Pemilu 2019”.

Adapun narasumber lain dari berbagai koalisi yang hadir, yaitu Koordinator Riset Indonesia for Global Justice Rahmat Maulana Sidik, Peneliti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Lutfiyah Hanim, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Henrikus Setya A Pratama, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Parid Ridwanuddin, Konfederasi Serikat Nasional Aip Saipullah, dan Kesatuan Perjuangan Rakyat Herman Abdulrohman.

Impor meningkat

Sejalan dengan itu, Lutfiyah menyatakan, apabila perjanjian perdagangan internasional dinilai dapat memacu ekspor, pada kenyataannya tidaklah demikian. Sebab, rata-rata pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional masih rendah.

Data Kemendag menunjukkan, pada tahun 2018, persentase pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional untuk ekspor masih rendah. Misalnya, ASEAN Trade In Goods/ATIGA (54,7 persen), ASEAN-Australia Selandia Baru/AANZFTA Selandia Baru (54 persen), Indonesia-Japan/IJEPA (47,2 persen), dan ASEAN-Australia/AANZFTA Australia (46,4 persen).

Mengacu pada data yang sama, koalisi mencatat, rata-rata pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional hanya sebesar 30 persen sampai 35 persen. “Bahkan, dengan semakin banyak perjanjian perdagangan internasional yang ditandatangani, semakin banyak pula pintu impor yang terbuka, bukan sebaliknya,” tegas Lutfiyah.

Maka, jika tidak dikaji secara komprehensif, Lutfiyah menilai, kerja sama ini malah akan merugikan masyarakat Indonesia bahkan hingga ke para petani. Menurutnya, konsep economic powerhouse dalam IA-CEPA yang digadangkan untuk memberi nilai tambah pada produk Indonesia, pada praktiknya nanti, tidaklah demikian.

“Melalui konsep ini, alih-alih menggunakan dan menyerap produk pertanian lokal, yang terjadi malah akan meningkatkan penggunaan bahan baku produk pertanian asal Australia untuk diolah di Indonesia. Tentu produk impor Australia akan meningkat dan defisit perdagangan pun akan berlanjut,” tutur Lutfiyah.

Kemendag mencatat, dari perdagangan antarkedua negara pada 2018, Indonesia defisit sebesar 3 miliar dollar AS. Total perdagangan mencapai 8,6 miliar dollar AS, dengan ekspor Indonesia tercatat senilai 2,8 miliar dollar AS dan impor sebesar 5,8 miliar dollar AS.

Badan Pusat Statistik pun mencatat, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Australia pada Januari 2019 defisit sebesar 208 juta dollar AS atau turun 16,85 persen dibandingkan tahun lalu.

Selain itu, alih-alih mengejar target ekspor melalui pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional, Henrikus menegaskan, pemerintah seharusnya menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih menghambat daya saing. Misalnya, persoalan impor garam.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi garam per Desember 2018  mencapai 2.719.256 ton, meliputi garam produksi petambak rakyat 2.349.630 ton dan PT Garam (Persero) 369.626 ton. Tahun lalu, pemerintah menetapkan kuota impor garam industri 3,7 juta ton, lebih tinggi daripada rata-rata impor garam industri yang sekitar 2 juta ton per tahun. Pada 2017,  total produksi  garam  nasional 1,11 juta ton. (Kompas, 21 Januari 2019)

“Daripada mengimpor, mengapa pemerintah tidak membenahi industri lokal guna meningkatkan kapasitas produksi. Jika dikatakan kualitas garam lokal tidak memenuhi standar, mengapa tidak diperbaiki, jangan malah mengimpor,” kata Henrikus.

Tidak transparan

Di sisi lain, Maulana mengatakan, proses perundingan terhadap perjanjian perdagangan internasional tidak demokratis. Bahkan, DPR RI selaku perwakilan rakyat, tidak pernah membuka atau mengundang masyarakat sipil untuk memberikan pandangan terhadap analisis dampak yang ditimbulkan.

Berdasarkan survei Indonesia for Global Justice pada 2018, sebesar 64,8 persen masyarakat menilai, parlemen kurang serius mengambil peran dalam mengawasi perjanjian perdagangan internasional. Sebesar 50 persen masyarakat juga ragu jika anggota DPR RI mengetahui isi dari perjanjian tersebut.

“Perjanjian perdagangan internasional adalah kebijakan strategis jangka panjang, bukan hanya kebijakan teknis. Jangan sampai, ambisi pemerintah dalam merampungkan berbagai perjanjian, malah mengabaikan hak dan nasib rakyat Indonesia,” kata Maulana.

(SHARON PATRICIA)

Sumber >>>https://kompas.id/baca/utama/2019/03/14/dpr-didesak-tunda-ratifikasi-perjanjian-perdagangan-internasional/

PDF 📄
Tags: EkonomiFREETRADEPerdagangan Bebas
Previous Post

Tunda Pembahasan Ratifikasi dan Perundingan FTA Di Tahun Politik 2019

Next Post

RILIS BERSAMA KOALISI OBAT MURAH INDONESIA

Related Posts

Sustainble Trade dalam perspektif Amanat Konstitusi: Kajian terhadap Pasal 33 UUD 1945
Publikasi

Sustainble Trade dalam perspektif Amanat Konstitusi: Kajian terhadap Pasal 33 UUD 1945

Juli 22, 2021
UU Cipta Kerja Disusun Tanpa Kajian Memadai Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
Artikel

UU Cipta Kerja Disusun Tanpa Kajian Memadai Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat

Juni 18, 2021
Load More
Next Post
RILIS BERSAMA KOALISI OBAT MURAH INDONESIA

RILIS BERSAMA KOALISI OBAT MURAH INDONESIA

Please login to join discussion

covid-19 widget

Popular Post

  • Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    2607 shares
    Share 1043 Tweet 652
  • Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    2593 shares
    Share 1037 Tweet 648
  • Penenggelaman Kapal Asing

    2236 shares
    Share 894 Tweet 559
  • DIPLOMASI VAKSIN COVID-19 INDONESIA: “Tantangan Akses Publik Atas Vaksin dan Layanan Kesehatan Berkeadilan”

    1192 shares
    Share 477 Tweet 298
  • Cerita Dari Pelosok Negeri: Aksi Kolektif Gerakan Sosial Indonesia Merespon Covid19

    1106 shares
    Share 442 Tweet 277
  • PERDAGANGAN & INVESTASI
  • BISNIS & HAM
  • DIGITAL EKONOMI
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • ARTICLE MONITORING
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
  • id Indonesia
  • en English

Indonesia For Global Justice© 2020

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used.