Jakarta, 14 Agustus 2019. Pemerintah Indonesia semakin gencar merundingkan perjanjian perdagangan internasional yang mengatur paten benih untuk korporasi. Padahal, kriminalisasi petani pemulia jagung di JawaTimurpada 2005 masih menjadi trauma. Bahkan, praktek kriminalisasi serupa kembali terjadi terhadap petani di Kabupaten Aceh Utara tahun ini.
Kasus kriminalisasi tersebut diakibatkan oleh aturan perlindungan paten benih yang diadopsi dari perjanjian WTO. Aturan tersebut membatasi petani untuk mengembangkan, menanam, dan mendistribusikan benih yang dihasilkannya.
Saat ini Pemerintah Indonesia berencana meratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang hendak memuat aturan yang sama. Rencana ratifikasi itu dilakukan terhadap Perjanjian Indonesia-EFTA (Swiss, Norwegia, Islandia, Liechtenstein) CEPA. Merespon situasi ini Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama-sama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan BEM KM IPB melaksanakan diskusi pada Kamis, 4 Juli 2019 di Kampus Institut Pertanian Bogor, untuk membahas dampak yang ditimbulkan dari isi perjanjian tersebut terhadap hak petani atas benih.
WTO & Perlindungan Varietas Tanaman
Indonesia meratifikasi Perjanjian WTO pada tahun 1995. Perjanjian tersebut berisi ketentuan untuk meliberalisasi perdagangan dan investasi, baik terkait dengan barang maupun jasa. Namun, sebaliknya perjanjian WTO juga memiliki ketentuan yang hendak membatasi kebebasan dalam penguasaan teknologi, yaitu aturan mengenai perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, atau dikenal dengan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Aturan ini tidak konsisten dengan ide ‘perdagangan bebas’.
Aturan TRIPs merupakan hasil dari loby perusahaan multinasional negara maju yang memiliki penguasaan teknologi, salah satunya adalah perusahaan benih, pestisida, dan pupuk. TRIPS mengatur kewajiban negara anggota WTO untuk memberikan perlindungan terhadap pengetahuan dan inovasi serta teknologi melalui perlindungan hak cipta, merek, design industry, paten, dan indikasi geografis.
Terkait dengan isu benih, aturan perlindungannya diatur melalui perlindungan paten. Dalam Pasal 27 ayat (3.b) TRIPS mengatur tentang keharusan negara anggota WTO untuk memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman baik melalui paten atau dengan sistem sui generis yang efektif atau dengan kombinasi dari keduanya. Perlindungan paten terhadap benih telah memberikan hak bagi pemegang paten untuk memonopoli benih selama 20 tahun.
Dari aturan inilah kemudian banyak negara berkembang mulai membuat regulasi nasional mengenai perlindungan varietas tanaman. Menurut Lutfiyah Hanim, peneliti Third World Network (TWN), pada tahun 90-an negara berkembang tidak punya banyak referensi dalam menyusun undang-undang tentang perlindungan varietas tanaman. Saat itu, satu-satunya referensi standar internasional tentang perlindungan varietas tanaman adalah Konvensi UPOV. Oleh karena itu, secara tidak langsung negara maju dan organisasi internasional mempromosikan sistem perlindungan varietas tanaman yang mengacu pada Konvensi UPOV.
Sejak saat itu, untuk memenuhi kewajiban dalam perjanjian TRIPS, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, mengadopsi aturan konvensi UPOV untuk menyusun undang-undang perlindungan varietas tanaman. Perlindungan varietas tanaman telah diatur dalam Undang-undang No.29 Tahun 2000. Akibatnya, sejak 1995 keanggotaan UPOV meningkat dari 27 menjadi 72 negara. Namun, beberapa negara seperti Mesir, India, Malaysia dan Thailand masih menolak untuk merujuk UPOV dan lebih menggunakan sistem sui generis untuk memberikan perlindungan varietas tanaman di negaranya.
Box 1 – Apa itu Konvensi UPOV?
A. UPOV adalah International Union for the Protection of New Plant Varieties (Perjanjian internasional bagi perlindungan varietas tanaman baru) . B. Dibentuk pertama kali thn 1960, UPOV bekerja secara ekslusif mendorong privatisasi benih di seluruh dunia melalui penyeragaman dan paten benih . C. UPOV1991 mendorong pembatasan hak petani untuk menyimpan dan mempertukarkan benih yang telah “dipatenkan” – dimiliki oleh perusahaan yang telah mendapatkan perlindungan UPOV atas benih tersebut. |
Implementasi UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan varietas tanaman di Indonesia telah menghilangkan hak petani atas benih. Hal ini karena perlindungan paten benih dalam UPOV lebih mengenal perlindungan hak bagi pemulia benih, dan bukan perlindungan hak petani atas benih. Perbedaan antara hak pemulia benih dengan hak petani terhadap benih masih menjadi perdebatan yang tajam. Padahal, Hak petani atas benih telah diakui dalam Konvensi IPTGRFA, yang didalamnya ada pengakuan terhadap petani di seluruh dunia yang memiliki peran terhadap keanekaragaman hayati. Konvensi tersebut juga telah mengakui hak petani untuk menggunakan, mempertukarkan dan menjual benih/bahan perbanyakan hasil tanaman sendiri.
Aturan tersebut telah memarjinalkan hak petani atas benih. Hal ini karena perlindungan paten benih dalam UPOV lebih mengenal perlindungan hak bagi pemulia benih, dan bukan perlindungan hak bagi petani. Perlindungan hak petani atas benih tidak dikenal dalam rezim UPOV. Akibatnya, banyak sekali kasus kriminalisasi petani pemulia tanaman dari penerapan undang-undang PVT di Indonesia.
Tidak diaturnya hak petani terhadap benih dalam perlindungan varietas tanaman menjadi akar penyebabnya. Bahkan, perbedaan penafsiran antara hak pemulia benih dengan hak petani terhadap benih masih menjadi perdebatan di dalam forum-forum perundingan. Padahal, Hak petani atas benih telah diakui dalam Konvensi IPTGRFA, yang didalamnya ada pengakuan terhadap petani di seluruh dunia yang memiliki peran terhadap keanekaragaman hayati. Konvensi tersebut juga telah mengakui hak petani untuk menggunakan, mempertukarkan dan menjual benih/bahan perbanyakan hasil tanaman sendiri.
Saat ini, dorongan untuk Indonesia meratifikasi Konvensi UPOV semakin kuat. Apalagi dalam beberapa negosiasi perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia hendak mengatur tentang kewajiban untuk meratifikasi Konvensi UPOV. Tentu ketentuan ini akan menguntungkan negara maju ketimbang Indonesia. Perjanjian yang sedang dirundingkan seperti Indonesia-EU CEPA, ASEAN RCEP, dan IJEPA.
Lebih lanjut disampaikan Hanim, bahwa Indonesia telah menandatangani perjanjian Indonesia EFTA (European Free Trade Association) pada tahun 2018. Dalam perjanjian tersebut terdapat pasal jebakan. Ketentuan paten dalam perjanjian tersebut, khususnya dalam Annex bab hak kekayaan intelektual, memiliki interpretasi bahwa bagi negara yang belum menjadi anggota UPOV 1978 harus menyesuaikan undang-undangnya dengan UPOV 1991. Namun, sebaliknya bagi negara yang sudah menjadi anggota UPOV 1978 (seperti Swiss dan Norwegia) tidak diharuskan menyesuaikan dengan aturan UPOV 1991.
Bila demikian, maka implementasi aturan dalam Indonesia-EFTA CEPA telah menimbulkan ketidakadilan bagi Indonesia. Hal ini karena hanya Indonesia yang wajib menyesuaikan dengan UPOV 1991 yang memiliki standar perlindungan benih yang lebih tinggi ketimbang UPOV 1978. Sehingga Swiss dan Norwegia lebih diuntungkan dalam hal ini.
Hanim juga mengungapkan bahwa selama ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi UPOV. Namun, UU No.29 tahun 2000 banyak mengadopsi aturannya. Tetapi, merevisi undang-undang akan lebih mudah dilakukan ketimbang merevisi perjanjian FTA. Sehingga Pemerintah Indonesia harus berhenti merundingkan dan meratifikasi FTA yang mengatur tentang perlindungan paten untuk benih, khususnya yang mewajibkan Indonesia untuk menjadi anggota UPOV.
Siapa Yang Diuntungkan?
Tidak dapat dipungkiri, bahwa korporasi ikut membonceng dibalik ketentuan UPOV. Sebab, penguasaan benih terbesar di dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang sudah memonopoli benih diantaranya; Monsanto, Syngenta, Dupon, Bayer, Dow, BASF, ChemChina (lihat tabel 1). Dan diantaranya telah menjadi perusahaan benih terbesar di Indonesia (Lihat tabel 2).
Mengapa korporasi yang diuntungkan? Karena standar UPOV memberikan keleluasaan bagi korporasi untuk memprivatisasi benih dan mendistribusikan benih kepada petani. Hal ini, akan membuat petani menjadi ketergantungan benih dari korporasi. Selain itu, ketentuan dalam UPOV juga menutup akses bagi petani untuk mengelola dan memakai benih lokal mereka sendiri. Maka akan semakin sempit ruang bagi petani dalam penggunaan benih. Bahkan, bila menggunakan atau pun mendistribusikan benih yang belum tersertifikasi dapat dikenai sanksi hukuman. Bila demikian, perusahaan-perusahaan benih yang akan diuntungkan dari diterapkannya ketentuan UPOV.
Kartini Samon, Peneliti dari GRAIN, menjelaskan bahwa UPOV merugikan petani kecil karena, pertama, melarang membatasi penyimpanan pertukaran dan penjualan benih yang diprivatisasikan, kedua, Bisa mengkriminalisasi petani yang melanggar paten benih, ketiga, Menyebabkan erosi keanekaragaman hayati, keempat, menyebabkan ketergantungan dan monopoli industry benih dan mendorong komersialisasi benih.
Padahal, kemampuan dan hak petani untuk menyimpan dan mengembangkan benih dari satu musim tanam ke musim tanam berikutnya adalah kunci bagi keanekaragaman hayati pangan. Dengan aturan UPOV maka telah dipastikan Penyeragaman benih oleh korporasi telah menghilangkan keanekaragaman hayati dunia. Padahal dalam prakteknya dalam 50 tahun terakhir sejak Revolusi Hijau, petani kecil di seluruh dunia telah menyumbangkan 2.1 juta varietas tanaman ke berbagai bank benih (gene banks). Dalam kurun yang sama, perusahaan benih hanya menyumbangkan 80,000 varietas[1].
Bahkan melalui aturan UPOV, Perusahaan seperti Monsanto-Bayer, Dow-DuPont (Corteva), Syngenta-ChemChina dan BASF (top 4 = 2/3rds of global seed market) ingin membuat hak petani untuk menyimpan dan mempertukarkan benih menjadi ilegal sehingga petani wajib membeli setiap musim tanam. Inilah yang pada akhirnya petani menjadi ketergantungan terhadap benih industry, dan kehilangan kedaulatannya terhadap benih. Tentu ini juga yang menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan di Indonesia.
Tabel 1. Perusahaan Benih Terbesar Dunia
Sumber :Konzernatlas, HBS, Jan 2017(diambil dari Presentasi Kartini Samon, Diskusi 4 Juli 2019).
Tabel 2. Perusahaan BenihTerbesar di Indonesia
Sumber: diambil dari Presentasi Kartini Samon, dari diskusi 4 Juli 2019
Kriminalisasi Petani
Pada 22 Juli 2019, kasus kriminalisasi menimpa Tengku Munirwan seorang petani pemulia sekaligus Kepala Desa Meunasah Rayeuk, Kabupaten Aceh Utara. Beliau ditangkap oleh Polda Aceh karena dianggap mengedarkan benih IF8 tanpa label. Total benih IF8 yang telah disalurkan sebanyak 118.180 kg yang tersebar di 14 Kecamatan dan 134 Desa di Kabupaten Aceh Utara. Padahal, benih IF8 sudah mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara melalui kegiatan Bursa Inovasi Desa pada 2018. Karena, benih IF8 dianggap berkualitas dibanding benih lainnya, contohnya di Desa Meunasah Rayeuk bisa menghasilkan padi sebanyak 11,9 ton per hektar dari benih IF8, dan capaian itu belum pernah diraih sebelumnya oleh benih lain.
Keberhasilan itu, membuat Tengku Munirwan selaku Kepala Desa dianugerahi sebagai kepala desa terbaik di Kabupaten Aceh Utara oleh Bupati Aceh Utara. Bahkan, Bupati Aceh Utara H. Muhammad Thaib menyarankan kepada petani yang ada di Kabupaten Aceh Utara agar membudidayakan benih padi IF8 dan bila dibutuhkan akan membuat Qanun (Peraturan Bupati) untuk budidaya benih padi IF8.
Namun, kemudian situasi berbanding terbalik. Diketahui adanya pengedaran benih tanpa label, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 510/796/2019 tertanggal 15 Mei 2019 tentang Pelarangan Penyaluran Benih Tanpa Label. Kemudian, surat edaran ini ditindaklanjuti oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Aceh Utara dengan mengeluarkan Surat Nomor 521/885/2019. Akhirnya, kini penyaluran benih IF8 tidak diperbolehkan untuk disalurkan kepada petani karena belum tersertifikasi. Sebab, dianggap melanggar ketentuan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Hingga kini, Kasus Tengku Munirwan masih berjalan dan beliau ditangguhkan penahanan nya.
Padahal, Tengku Munirwan sudah seharusnya dibebaskan tanpa syarat. Karena, Pasal 12 Ayat (1) dan (2) yang digunakan untuk menjerat beliau, sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah mengakui hak petani dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 99/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa pengedaran hasil pemuliaan harus terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah tidak berlaku bagi hasil pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh petani kecil dalam negeri untuk kelompok nya sendiri.
Pada 18 Juli 2013, Mahkamah Konsitusi mengeluarkan putusan atas gugatan kelompok masyarakat sipil terhadap Undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Gugatan itu, dilakukan akibat pelaksanaan undang-undang tersebut telah menghilangkan kedaulatan petani atas benih. Petani tidak dapat melakukan kegiatan pemuliaan dan pengumpulan plasma nutfah untuk kebutuhan pertaniannya. Bahkan, kriminalisasi terhadap petani kerap terjadi akibat undang-undang tersebut.
Efek dari Putusan Mahkamah Konsitusi akhirnya petani bisa bebas mengembangkan benih secara mandiri tanpa harus berbadan hukum dan kewajiban mendapatkan izin dari pemerintah. Kini, perubahan norma baru pasca putusan tersebut adalah: ‘kecuali untuk perorangan petani kecil’ sehingga bunyi ayat itu kini menjadi, “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin kecuali untuk perorangan petani kecil’.
Petani Harus Berdaulat Atas Benih
Petani merupakan subjek dalam segala hal yang berkaitan dengan pertanian. Karena, pemeran utama yang melakoni segala aktivitas pertanian adalah petani itu sendiri. Namun, sebagian besar undang-undang mengenai perbenihan berorientasi mengubah petani dari sumber benih menjadi konsumen benih. Karena, pasokan benih sudah di supply oleh perusahaan-perusahaan benih. Hal ini diungkapkan Prof. Dwi Andreas Santosa selaku narasumber dalam diskusi 4 Juli 2019 di Institut Pertanian Bogor.
Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa ternyata FAO (Food and Agriculture Organization) memiliki peran sangat besar dalam mengubah peraturan-peraturan benih di seluruh dunia. Dan yang berada dibelakang perubahan aturan itu adalah industri benih. Sementara, jaringan tani tidak dilibatkan untuk turut berpartisipasi dalam menyusun dan membuat aturan benih tersebut. Kalau begitu kondisinya, maka kekuatan industri benih yang akan semakin menguasai benih petani. Dan secara perlahan namun pasti akan mengkerdilkan posisi petani di Indonesia.
Oleh karena itu, harus didukung secara bersama-sama terutama oleh pemerintah melalui reformasi regulasi dan sikap konsisten pemerintah dalam memperjuangkan kehidupan petani. Karena, acapkali regulasi yang lahir di sektor pertanian dan pangan justru mendiskreditkan petani kecil sebagai pelakon utama pertanian. Belum lagi, disebabkan pengaruh harmonisasi regulasi nasional terhadap ketentuan perjanjian internasional. Untuk itu, harus ada inisiatif gerakan sosial yang mengawal kedaulatan petani atas benih. Karena, petani berdaulat atas benih nya sendiri merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Kajian Road Map UPOV Oleh Pemerintah
Kepala Perlindungan Varietas Tanaman Kementerian Pertanian, Prof. Eriza Jamal,menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dalam meratifikasi setiap perjanjian internasional sering kali tidak melakukan kajian terlebih dahulu mengenai dampak positif dan negatifnya.
Pihak Kementerian Pertanian sendiri mengakui bahwa dalam perundingan FTA dominasi Negara-negara maju seperti Jepang terus mendesak Indonesia agar masuk menjadi anggota UPOV. Tidak hanya dalam perundingan FTA, beberapa kali Jepang mengadakan pertemuan langsung dengan mengundang Negara-negara ASEAN termasuk Indonesia untuk hadir dalam forum East Asia Plant Variety Protection Forum, dalam forum itu Jepang mendorong agar Indonesia menjadi anggota UPOV dan mengharmonisasi regulasi agar sesuai dengan ketentuan UPOV.
Terkait dengan UPOV, Pemerintah sedang melakukan kajian mengenai plus-minussebagai anggota UPOV. Bahkan, kini Pemerintah membuat Road Map terkait dengan UPOV. Ada 3 (tiga) aspek yang dikaji oleh Pemerintah; pertama, Kesiapan Industri Benih dalam Negeri; kedua, Kelengkapan Regulasi perlindungan Plasma Nutfah; dan ketiga, Perlindungan Hak Petani.
Pemerintah meng-klaim dalam kajiannya terhadap road map UPOV akan mengedepankan hak petani. Mereka mengakui bahwa masih sulit untuk menjawab perdebatan antara pemberian hak kepada pemulia individu (Breeder Rights) dengan perlindungan hak petani (Farmers Rights). Bagi pemerintah, tantangannya adalah bagaimana bisa mengakomodir dua sisi kepentingan yang sangat berbeda tajam.
Terkait pembangunan industry benih dalam negeri, kritik besar disampaikan oleh Kartini Samon. Ia menyoroti bahwa industry benih dalam negeri tidak mungkin bisa. Hal ini karena penguasaan industry benih di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan benih multinasional. Road map UPOV juga akan menjadi pukulan balik terhadap petani. Hal ini karena belum ada komitmen tegas dari Pemerintah Indonesia untuk mendorong adanya Undang-undang benih yang berpihak pada petani kecil serta menghapuskan aturan kriminalisasi terhadap petani.
Penutup
Keberlanjutan pertanian Indonesia dan kedaulatan petani atas benih harus terus diwujudkan. Karenanya, harus didorong secara bersama-sama oleh kelompok tani, akademisi, dan unsur masyarakat lainnya dalam mengawal dan memberi masukan kepada Pemerintah agar melindungi hak-hak petani dan benih lokal. Selain itu, mewujudkan agenda kedaulatan petani atas benih lebih penting ketimbang pemerintah merundingkan perjanjian FTA, karena hanya akan mengkebiri hak-hak petani.
[1] Via Campesina, GRAIN, ETC, 2013
****
Penyusun:
Rahmat Maulana Sidik
Koordinator Riset dan Advokasi isu Pangan
Email : rmaulanasidik55@gmail.com
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Komplek PLN Duren Tiga, Jalan Laboratorium No. 7
Jakarta Selatan. 12760
Email : igj@igj.or.id atau keadilan.global@gmail.com
Phone : +62 21 7984552
Download >>> Artikel Monitoring IGJ_Kedaulatan Benih (1)