“SEMBILAN RENUNGAN, MENJELANG PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN RI 16 AGUSTUS 2019”
Pidato “Visi Indonesia” yang dibacakan Presiden Joko Widodo pada 4 Juli 2019 di Sentul Bogor, merupakan ilusi tentang kemakmuran Indonesia. Pembangunan ekonomi mendorong industrialisasi mempercepat pembentukan kota-kota. Karena kota adalah pertumbuhan ekonomi bercorak kapitalistik. Karena kota membangun kultur individualistis yang sangat jauh dari karakter Indonesia. Sehingga kita menjadi tahu, siapa yang akan mendulang keuntungan paling besar dan siapa yang akan hidup dalam himpitan derita.
Jumat 16 Agustus 2019 Presiden Joko Widodo akan kembali berpidato. Pidato kali ini berstatus sebagai “Pidato Kenegaraan” yang disampaikan pada Sidang Tahunan MPR dalam kerangka konvensi ketatanegaraan.
Menjelang Pidato Sebelum hari Kemerdekaan Republik Indonesia tersebut, Kami Kelompok Masayarakat Sipil yang berhimpung dalam Gerak Lawan, suatu gerakan masyarakat melawan Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme perlu menyampaikan beberapa hal.
Pertama, Kita sebagai saudara sebangsa, perlu rasanya untuk mendengar kabar dari kampung-kampung di seluruh penjuru Tanah Air. Terutama kampung-kampung yang sedang berada di situasi genting. Sepak terjang Oligarki dengan dukungan penguasa mengikis habis sumber-sumber kehidupan dan daya dukung ruang di setiap kampung nya. Mari kita bertanya kepada saudara-saudara kita di Ogan Ilir, Kendeng, Tumpang pitu, Gunung Talang, Kulon Progo, Surokonto, Tamansari, Lakardowo, serta kampung-kampung lain nya yang sudah tak sanggup lagi bermimpi tentang keadilan dan kemakmuran.
Kedua, Kita sebagai saudara sebangsa, perlu bertanya kepada orang-orang yang bermigrasi. Terusir dari wilayah asal karena hancurnya ruang hidup. Ketika suatu wilayah tidak lagi menjanjikan suatu kehidupan yang lebih baik, orang-orang terutama perempuan harus mengadu nasib di negeri orang menjadi Pekerja Rumah Tangga. Atau mengadu nasib ke kota untuk menjadi kuli, buruh bangunan. Bahkan yang bernasib lebih tragis terjebak “perdagangan manusia”.
Ketiga, Kita sebagai saudara sebangsa, perlu rasanya untuk mempertanyakan kabar saudara-saudara kita yang saat ini mendekam di jeruji besi, atau yang terancam disekap karena tindakan nya memperjuangkan kehidupan. Perempuan yang semakin terbungkam dan terhalang ruang geraknya karena dihantui oleh ancaman penangkapan. Tuntutan masyarakat terhadap hak-hak dan kehidupan mereka direspon dengan serangan terhadap demokrasi dan partisipasi publik sangat sistematis, intimidatif, dan pendekatan militeristik, hingga kriminalisasi terhadap mereka yang bersikeras menolak atau membangkan investasi yang menghancurkan kehidupan.
Keempat, Kita sebagai saudara sebangsa, perlu rasanya untuk mempertanyakan apakah kita sudah memperoleh kemerdekaan kita? Manakala kebebasan sipil semakin diberangus. Mengkritik menjadi terlarang dan subversive. Orang ditindas dan dipersekusi karena perbedaan keyakinan dan pandangan politik. Warga Negara dibatasi untuk mengakses buku sebagai literature untuk pengembangan pengetahuan. Lantas apa makna kemerdekaan??
Kelima, Kita sebagai saudara sebangsa perlu bertanya, bagaimana pengetahuan dibentuk dan ditanamkan kepada warga negara? Bukankah alam telah menyajikan banyak pengetahuan? Tetapi pada saat pengetahuan diproduksi untuk kepentingan investasi, semua menjadi serba terbalik. Pengetahuan dan kearifan lokal yang dijaga dan dilestarikan berbagai komunitas untuk bertahan hidup dengan menjaga keseimbangan lingkungan tidak pernah diakui. Sebaliknya alam yang semestinya menjadi larangan, tetapi demi kepentingan investasi merusak alam menjadi suatu mata kuliah di berbagai perguruan tinggi.
Keenam, Kita sebagai saudara sebangsa, perlu bertanya kepada warga negara Indonesia di Palangkaraya, Pontianak dan Pekanbaru yang dipenuhi oleh asap akibat pembakaran hutan oleh perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri. Asap tebal yang membahayakan kesehatan setiap harinya dihirup oleh mereka. Atau bertanya kepada warga Jakarta, tentang polusi udara yang semakin parah, mengantarkan Jakarta sebagai kota paling buruk kualitas udaranya di Dunia. Kita perlu bertanya kepada nelayan di Krawang hingga Kepulauan seribu, yang harus berjuang melawan pencemaran laut karena kebocoran sumur dan atau pipa minyak Pertamina. Kabar terakhir pencemaran sudah dirasakan oleh warga di Kepulauan Seribu bahkan sampai di Bangka Belitung. Kita juga perlu bertanya kepada warga-warga yang setiap saat terancam perampasan tanah. Polusi Udara, Pencemaran Laut dan Perampasan tanah merupakan penghancuran rantai ekologi akibat akumulasi dampak investasi.
Ketujuh, Kita sebagai saudara sebangsa, perlu bertanya bagaimana negara menjadi alat untuk mendukung investasi. Lihat Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang percepatan proyek strategis nasional, hal tersebut adalah bukti nyata bahwa laju investasi tidak boleh dibendung. Bagaimana struktur ruang dicobak cabik melalui perumusan RTRW Nasional yang memprioritaskan Proyek Strategis Nasional. Perizinan dipermudah, melalui Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.
Agenda Joko Widodo yang ingin mengundang banyak investasi asing untuk membuka lapangan pekerjaan di Indonesia dilakukan tanpa menyusun agenda perlindungan hak buruh dan penegakan hukum bagi investor yang melanggar hukum di Indonesia. Tunduk dan posisi tawar yang lemah terhadap kebijakan-kebijakan global. Mekanisme sengketa investasi yang diatur di dalam FTA-FTA tersebut hanya melindungi kepentingan investor dibandingkan kepentingan rakyat. Mekanisme sengketa investasi dalam FTA dikenal dengan ISDS (Investor-State Dispute settlement). Dengan adanya mekanisme ISDS tersebut, negara dapat digugat oleh investor asing melalui Lembaga arbitrasi internasional. Gugatan ini dilakukan oleh investor jika kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah dianggap merugikannya.
Kedelapan, Kita sebagai saudara sebangsa perlu bertanya, agenda apa yang mendorong negara memaksakan beberapa peraturan perundangan di masa transisi politik? Dimana isi dari rancangan peraturan tersebut mengabdi untuk kepentingan investasi dan menjadi predator bagi ruang hidup rakyat. RUU minerba memberi insentif dan kemudahan bagi perusahaan pertambangan. Minim perlindungan terhadap masyarakat, dan tidak memuat hak veto rakyat. RUU Pertanahan membuka peluang bagi koorporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah, mengatur hak guna usaha menjadi 95 tahun. RUU Sumberdaya Air melanggengkan perampasan sumberdaya air oleh perusahaan mempermudah masuknya investasi. Sementara revisi undang-undang ketenagakerjaan memudahkan mekanisme PHK serta mendorong Hubungan Industrial menjadi lebih fleksibel sesuai dengan selera pengusaha.
Di sisi lain kemana kebijakan yang sungguh-sungguh melindungi warga negara, terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya? RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, tidak pernah menjadi pembahasan serius. Hal ini menunjukkan bahwa agena negara untuk menghasilkan berbagai peratuaran, bukanlah untuk menghasilkan keadilan dan keberpihakan pada mereka yang tertindas. Sebaliknya, akan merampas kehidupan masyarakat, menciptakan pemiskinan struktural, dan memperkuat kekerasan terhadap perempuan.
Kesembilan, Kita sebagai saudara sebangsa perlu bertanya, kepada Presiden dan anggota parlemen yang dipilih oleh ratusan juta warga negara melalui suatu sistem pemilu yang tidak mencerminkan demokrasi. Dimonopoli oleh partai politik, dimana elit politik mengabdi kepada kepentingan oligarki. Proses pemilu yang mahal, dan kental polarisasi yang menimbulkan luka berkepanjangan antar sesama warga negara. Apakah telah menghasilkan pemimpin bangsa yang mengabdi pada kepentingan rakyat? Atau justru sebaliknya mengabdi pada kepentingan oligarki.
Jakarta, 15 Mei 2019.
Dinda N Yura Solidaritas Perempuan (+62 818-1872-2510)
M Reza KRUHA (+62 813-7060-1441)
Melky Nahar JATAM (+62 813-1978-9181)
Teguh Indonesia Global Justice (+62 838-2269-1233)
Arip Yogiawan YLBHI (+62 812-1419-4445)