**Artikel ini merupakan ringkasan dari Seri Diskusi Keadilan Ekonomi yang diadakan IGJ pada 28 Mei 2019, dengan mengundang Narasumber Dr.Ahmad Redi, salah satu tim ahli yang membahas rencana revisi undang-undang di sektor pangan.
Pada November 2017 Pemerintah Indonesia harus menelan pil pahit ketika menerima putusan Panel Dispute Settelment Body (DSB) World Trade Organization (WTO) yang menyatakan bahwa Indonesia telah melanggar aturan WTO terkait dengan impor hortikultura dan ternak. Kekalahan dalam putusan WTO ini menyebabkan Indonesia harus melakukan revisi regulasi domestiknya agar sesuai dengan aturan WTO dibawah Perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Agreement on Agriculture (AoA).
Beberapa aturan yang telah direvisi oleh Pemerintah Indonesia pasca putusan adalah: (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 24 Tahun 2018; (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2018 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH); dan (3) Permentan Nomor 23 Tahun 2018; serta (4) Permendag Nomor 65 tentang hewan dan produk hewan.
Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam pelayanan penerbitan RIPH, dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan Impor Produk Hortikultura; memberikan kepastian dalam pelayanan penerbitan RIPH; dan mendorong produksi Hortikultura di dalam negeri.
Perubahan Permentan dan Permendag diatas sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia yang telah disampaikan pada DSB WTO pada 28 Februari 2018, dimana Indonesia bermaksud untuk mengimplementasikan rekomendasi DSB dan putusan dalam sengketa ini namun membutuhkan jangka waktu yang wajar (Reasonable period of time) untuk melaksanakan putusan tersebut, yaitu 22 Juli 2018.
Namun, pada 2 Agustus 2018, Amerika Serikat mengumumkan akan mengenakan sanksi dagang (Baca: Konsesi Tarif) kepada Indonesia dengan menerapkan retaliasi dagang sebesar US$350 Juta. AS menghitung bahwa diperkirakan efek kerugian perdagangan yang muncul dari tindakan Indonesia mencapai hingga US$350 Juta pada tahun 2017, dan angka ini akan diperbarui setiap tahunnya dengan melihat perkembangan ekonomi Indonesia. Permohonan AS terhadap WTO ini dikareanakan klaim AS bahwa Indonesia telah gagal untuk mematuhi rekomendasi dari DSB WTO hingga batas waktu yang telah ditentukan[1].
Revisi permentan dan permendag dianggap tidak cukup oleh Pemerintah Amerika Serikat. Beberapa regulasi nasional yang ditarget Amerika untuk direvisi dan disesuaikan dengan aturan di WTO mencakup undang-undang penting disektor pangan Indonesia, yakni: UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah oleh UU No. 41 Tahun 2014.
Secara spesifik, keempat UU diatas diminta untuk menghapus klausul pasal yang memasukkan frasa “dalam negeri”, seperti yang terdapat dalam Pasal 73, Pasal 74, dan Pasal 88 UU Hortikultura, Pasal 36 UU Pangan, Pasal 15 Ayat (1, 2, 3) UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan Pasal 36 UU Peternakan dan Kesehatan Hewan[2].
Buah Simalakama Putusan WTO
agi Pemerintah Indonesia, tidak memungkinkan mengikuti permintaan Amerika Serikat untuk melakukan revisi keempat undang-undang di sektor pangan dalam jangka waktu yang sempit. Namun, disisi yang lain Pemerintah Indonesia seolah tidak memiliki pilihan lain selain melakukan revisi, atau harus menerima tindakan retaliasi oleh Amerika Serikat sebesar US$350 Juta terhadap produk ekspor Indonesia di Amerika.
Pasca massifnya Amerika melakukan perang dagang dengan beberapa negara, saat ini Indonesia terpaksa harus mengikuti kemauan Amerika untuk melakukan review atas Generalize System Preference (GSP) yang dimiliki Indonesia. Hal ini semakin mempersempit posisi tawar Indonesia semakin lemah dihadapan Amerika Serikat. Revisi undang-undang di sektor pangan Indonesia harus dilakukan demi memenuhi putusan WTO dan permintaan Amerika Serikat.
Inilah buah konsekuensi pahit yang harus diterima Indonesia sebagai anggota WTO sejak tahun 1995. Apalagi ditengah defisit neraca perdagangan Indonesia akhir-akhir ini, tentu efektivitas perjanjian perdagangan bebas, baik multilateral maupun bilateral, harus ditinjau kembali.
Proses Gugatan Sebelumnya
Pada 8 Mei 2014, New Zealand dan Amerika Serikat mengajukan protes terhadap Indonesia ke Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait dengan Kebijakan pembatasan impor hortikultura dan produk hewan Indonesia. Permohonan ini diajukan karena keberatan New Zealand dan Amerika Serikat atas penerapan kebijakan Indonesia yang diindikasikan bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) GATT 1994 (lihat tabel 1), Pasal 4 ayat (2) Agreement on Agriculture, dan Pasal 3 ayat (2) Agreement on Import Licensing Procedures. Ada sekitar 18 tindakan yang dinilai bertentangan dengan GATT 1994, yang terbagi menjadi dua bagian yaitu produk hortikultura, dan Hewan dan produk hewan.
Selanjutnya pada 18 Maret 2015, Selandia Baru dan Amerika Serikat masing-masing meminta pembentukan panel sesuai dengan Pasal 6 GATT terkait 18 tindakan yang diberlakukan oleh Indonesia tentang impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Kemudian pada 22 Desember 2016, Badan Panel WTO mengeluarkan putusan yang memenangkan Amerika Serikat dan New Zealand terhadap Indonesia. Panel WTO menyatakan bahwa Indonesia telah bertindak tidak konsisten dengan Pasal 11 ayat (1) GATT 1994, sehingga Indonesia telah menghilangkan atau merugikan manfaat yang dimiliki oleh New Zealand dan Amerika Serikat dari aturan GATT. Panel juga mengeluarkan rekomendasi agar Indonesia segera melakukan langkah penyesuaian kebijakan terhadap aturan GATT 1994.
Tabel 1
18 Tindakan yang disengketakan oleh Amerika Serikat dan Selandia Baru
Tindakan Pada Produk Hortikultura | Tindakan Pada Hewan dan Produk Hewan |
1. Pembatasan jendela aplikasi dan periode validasi. WTO menilai keberadaan pasal 13 Permentan no. 86 tahun 2013 terkait dengan proses pengajuan dan pembatasan waktu RIPH dinilai sangat merugikan importir karena jangka waktunya yang sangat pendek, disamping aturan ini dinilai tidak memperhitung lamanya waktu pengiriman barang. |
|
2. Istilah impor periodic dan tetap. | 2. Batas windows aplikasi dan masa berlaku |
3. 80% realisasi kebutuhan | 3. Istilah impor periodic dan tetap |
4. Persyaratan periode hasil panen | 4. 80% realisasi kebutuhan |
5. Kepemilikan penyimpanan dan persyaratan kapasitas. WTO menilai aturan yang dibuat oleh Indonesia terkait dengan kepemilikan penyimpanan dan persyaratan kapasitas akan merugikan importir dan bertentangan dengan pasal XI: 1 GATT 1994 karena biaya yang dikeluarkan akan semakin besar, disamping kepemilikan penyimpanan akan berdampak pada pembatasan kapasitas penyimpanan. Sementara proses penyimpanan terhadap barang import dapat dilakukan melalui sistem penyewaan. | 5. Penggunaan, penjualan dan distribusi daging sapi impor dan jeroan |
6. Penggunaan, penjualan dan persyaratan distribusi untuk produk hortikultura | 6. Persyaratan pembelian domestic untuk daging sapi |
7. Referensi harga untuk cabai dan bawah merah segar untuk konsumsi | 7. Referensi harga daging sapi |
8. Enam bulan persyaratan Panen | 8. Rezim perijinan impor untuk hewan dan produk hewan sebaga |
9. Rezim perizinan import untuk produk hortikultura secara keseluruhan | 9. Kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik |
*****
Tim Penyusun:
Rahmat Maulana Sidik, SH
Rachmi Hertanti, SH., MH.
Indonesia for Global Justice
Komplek PLN, Jl.Laboratorium No.7, Duren Tiga
Pancoran, Jakarta Selatan, 12760
Email: igj@igj.or.id atau keadilan.global@gmail.com
Telp: +62-21-7984552
————————————–
[1] Fact Sheet IGJ: “Memahami Kasus Sanksi Dagang Amerika Serikat Terhadap Indonesia”, Agustus 2018. Link: https://igj.or.id/fact-sheet-igj-memahami-kasus-sanksi-dagang-amerika-serikat-us350-juta-terhadap-indonesia/
[2] Bahan Presentase Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., dalam diskusi IGJ mengenai Kedaulatan Pangan Indonesia setelah gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru di WTO.
Download >>>Nasib Kedaulatan Pangan Indonesia setelah Putusan WTO Atas Gugatan Amerika dan Brazil