PERNYATAAN SIKAP
KOALISI RAKYAT UNTUK KEADILAN PERIKANAN (KIARA) DAN
INDONESIA FOR GLOBAL JUSTICE (IGJ)
“Nelayan Indonesia Menolak Rencana Pencabutan Subsidi Perikanan di WTO”
KIARA bersama dengan Indonesia for Global Justice (IGJ) serta seluruh organisasi nelayan tradisional, nelayan skala kecil, dan organisasi masyarakat adat pesisir di Indonesia menolak rencana pertemuan organisasi dagang dunia atau World Trade Organisation (WTO) yang akan membahas rencana pencabutan subsidi perikanan bagi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil. Sungguh sangat ironis, rencana pertemuan tersebut akan digelar di tengah ancaman penyebaran pandemic Covid-19 yang kini semakin mengancam dunia.
Dalam konteks Indonesia, subsidi perikanan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh pemerintah karena dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, UUD 945 khususnya Pasal 33 ayat 3. Lebih jauh, subsidi perikanan diatur di dalam Undang- Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Di dalam UU No. 7 Tahun 2016 Pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah, diwajibkan untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan dengan cara sebagai berikut: a. penyediaan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman; b. kemudahan memperoleh sarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman; c. jaminan kepastian usaha; d. jaminan risiko Penangkapan Ikan, Pembudidayaan Ikan, dan Pergaraman; e. penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; f. pengendalian impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman; g. jaminan keamanan dan keselamatan; h. fasilitasi dan bantuan hukum; i. pendidikan dan pelatihan; j. penyuluhan dan pendampingan; k. kemitraan usaha; l. kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta m. penguatan Kelembagaan.
Sebagai bagian penting dari masyarakat perikanan dunia, nelayan di Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen perikanan tangkap terbesar dengan total produksi sebanyak 6,109,783 ton, berdasarkan data FAO 2018. Angka produksi ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang hanya tercatat sebanyak 6.016.525 ton. Itulah bukti nyata kontribusi 8.077.719 rumah tangga nelayan yang hidup dan mendiami kawasan pesisir di Indonesia.
Disamping itu, negosiasi subsidi perikanan di WTO dilakukan ditengah krisis Covid-19 dan tidak melibatkan Negara-negara berkembang yang menjadi anggota WTO. Proses perundingan justru dilakukan secara virtual, yang akan abai dari prinsip demokratis dan transparansi. Serta hasil perundingan nya juga akan menimbulkan bias dan ketidakadilan bagi Negara-negara berkembang yang menjadi anggota WTO. Padahal, seharusnya ditengah krisis Covid-19 ini Negara-negara anggota WTO focus dalam penanganan corona virus yang menyangkut ancaman bagi nyawa manusia.
Perundingan subsidi perikanan di WTO juga mengabaikan usulan dan permintaan dari India, Karibia, dan Afrika serta Negara-negara berkembang lainnya untuk tetap mempertahankan perlakuan Special Differencial Treatment (SDT) dalam menangani IUU Fishing bagi Negara-negara berkembang. Bila hal itu dihilangkan, maka tidak ada lagi pembedaan antara Negara maju dan Negara berkembang dalam perdagangan. Seharusnya, adanya SDT bagi Negara berkembang menjadi perlakuan khusus bagi Negara berkembang dalam menindak dan menangani IUU Fishing di masing-masing Negara nya.
Secara umum, ada sejumlah permasalahan serius yang dihadapi nelayan yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu: pertama, permasalahan yang bersumber dari alam; kedua, Permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung; dan ketiga, permasalahan sosial ekonomi politik.
Dalam konteks relasi dengan negara, nelayan terancam harus berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah berupa reklamasi, pertambangan pesisir, dan pariwisata yang mengakibatkan masyarakat pesisir tergusur dari ruang penghidupannya tanpa ada perlindungan yang pasti atas keterikatannya dengan wilayah pesisir dan laut. (tabel 1)
Tabel 1. Proyek pembangunan yang mengancam kehidupan keluarga nelayan di Indonesia.
Jenis Proyek dan Investasi | Keterangan |
Reklamasi Pantai | Saat ini tersebar di 41 wilayah pesisir di Indonesia dengan total masyarakata terdampak, sebanyak 741.344 keluarga nelayan |
Pertambangan pesisir dan pulau-pulau
kecil |
Saat ini tersebar di 21 provinsi dengan
total 1.895 konsesi (JATAM, 2108). Sebanyak 32.027 keluarga nelayan terdampak proyek ini. |
Pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil | Sejak tahun 2014, KIARA mencatat sebanyak 14 pulau kecil telah diprivatisasi. Jumlahnya terus meningkat. Tahun 2018, KIARA mencatat sebanyak 79 pulau-pulau kecil telah menjadi kawasan privat untuk kepentingan pariwisata. Dampak proyek ini, nelayan dilarang mendekat dan menangkap ikan di kawasan pariwisata. |
Perkebunan kelapa sawit di pesisir dan pulau-pulau kecil |
Proyek sawit telah memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil secara cepat dan massif. Setidaknya lebih dari 600 ribu hektar tanah di pesisir dan pulau- pulau kecil dari Sumatera sampai dengan Sulawesi telah berubah menjadi perkebunan sawit. Saat ini, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Papua telah menjadi orientasi baru proyek perkebunan sawit. Kondisi ini mengancam keberlanjutan ekologis dan praktek perampasan tanah terus terjadi. |
Konservasi laut | Pada pertemuan Our Ocean Conference di Bali, pemerintah Indonesia mengumumkan telah memenuhi target kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektar pada tahun 2018. Selanjutnya, pemerintah menargetkan luasannya seluas 32 juta hektar pada tahun 2030. Proyek ini telah merampas ruang masyarakt pesisir karena mereka dilarang memasuki kawasan konservasi. Proyek ini sangat erat hubunganya dengan proyek pariwisata pesisir dan pulau pulau kecil yang saat ini menjadi andalan pemerintah. |
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2019)
Jika subsidi perikanan di Indonesia dicabut, maka nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, yang menggunakan ukuran kapal di bawah 10 gross ton, akan semakin terancam kehidupannya karena harus bersaing di laut dengan kapal-kapal penangkapan ikan skala besar dengan ukuran di atas 10 gross ton. Inilah malapetaka yang akan menghancurkan kehidupan nelayan di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, KIARA bersama dengan Indonesia for Global Justice (IGJ) serta organisasi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, menyampaikan sejumlah tuntutan sebagai berikut:
- Menolak pertemuan WTO yang akan membahas pencabutan subsidi perikanan bagi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil yang akan mempersulit kehidupan keluarga nelayan di Indonesia.
- Meminta pemerintah Indonesia untuk keluar dari WTO yang terbukti tidak memberikan dampak baik apapun bagi kehidupan keluarga nelayan di Indonesia.
- Meminta Pemerintah Indonesia untuk segera mengimplementasikan Undang- Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
- Meminta seluruh pemimpin negara-negara anggota WTO untuk menolak pertemuan tersebut keluar dari WTO.
- Meminta seluruh pemimpin negara yang terlibat dalam keanggotaan WTO fokus untuk menangani pandemic Covid-19 yang mengancam masyarakat dunia, termasuk masyarakat nelayan di berbagai negara.
Demikian surat pernyataan ini dibuat untuk menegaskan penolakan seluruh organisasi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil terhadap rencana pencabutan subsidi perikanan oleh WTO.
Jakarta, 2 April 2020
Narahubung:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA
Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Riset dan Avokasi IGJ
Download >>> PERNYATAAN SIKAP Pencabutan Subsidi Perikanan di WTO_Edit RMS