Kepada Yth:
Bapak Ir. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Bapak Luhut Binsar Panjaitan
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia
Bapak Sakti Wahyu Trenggono
Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia
Bapak Zulkifli Hasan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Ibu Retno L. Marsudi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Bapak Dandy Satria Iswara
Duta Besar Indonesia untuk WTO di Jenewa
Dengan hormat,
Kami, para organisasi nelayan beserta kelompok masyarakat sipil di Indonesia mengkhawatirkan perjanjian subsidi perikanan di WTO yang akan melarang subsidi perikanan bagi nelayan kecil. Di Indonesia, nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal penangkap ikan di bawah 10 GT dan jumlah nelayan kecil adalah 90% dari total jumlah seluruh nelayan. Tercatat 2,4 juta nelayan dan 3,9 juta perempuan nelayan di Indonesia yang akan terdampak dari penghapusan subsidi perikanan oleh WTO tersebut.
Nelayan kecil adalah kelompok yang paling rentan di sektor perikanan tangkap yang juga mengalami kemiskinan dan kemiskinan ekstrem. Sehingga diperlukan pendekatan dan perlakuan berbeda bagi nelayan kecil dalam mendapatkan hak dan perlindungan dari negara. Kami mengetahui bahwa terdapat dua pilar dalam perjanjian subsidi perikanan ini yang sudah mencapai kesimpulan, maka kami meminta secara tegas kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi dua pilar perjanjian subsidi perikanan WTO tersebut.
Hal ini disebabkan, perjanjian subsidi perikanan WTO tidak menjawab persoalan subsidi perikanan atas kapal besar yang berkontribusi pada Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing, Overcapacity dan Overfishing. Tetapi justru membatasi subsidi nelayan kecil di negara berkembang-kurang berkembang.
Kini dalam rancangan teks subsidi perikanan terkait Overcapacity dan Overfishing (OCOF) akan melarang 8 (delapan) jenis subsidi perikanan, termasuk subsidi bahan bakar, asuransi, biaya pegawai, peningkatan kapal hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan. Padahal jenis subsidi tersebut telah dijamin dalam Konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Jikalau WTO melarang subsidi perikanan bagi nelayan kecil, maka hal tersebut telah melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Untuk itu, kami sampaikan poin-poin kekhawatiran para nelayan kecil terhadap negosiasi subsidi perikanan pada Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO, sebagai berikut:
- Rancangan teks yang dibahas tidak mendefinisikan secara detail siapa nelayan yang sebagai subjek akan mendapatkan subsidi perikanan. Jika merujuk pada peraturan yang berlaku di Indonesia, nelayan yang berhak untuk mendapatkan subsidi perikanan dalam konteks bahan bakar minyak adalah nelayan yang menggunakan perahu dengan ukuran maksimal 30 GT. Dalam konteks jaminan kepastian usaha, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan kondisi yang menghasilkan harga ikan yang menguntungkan bagi nelayan. Sedangkan dalam konteks jaminan risiko penangkapan ikan, pemerintah memberikan perlindungan kepada nelayan atas risiko yang dihadapi nelayan dalam bentuk asuransi perikanan dan asuransi jiwa. Hal lainnya adalah tidak adanya definisi yang detail tentang penangkapan ikan skala kecil dalam teks perundingan subsidi perikanan tersebut. Di Indonesia, nelayan skala kecil merujuk pada nelayan yang menggunakan perahu ukuran maksimal 10 GT. Studi KNTI 2021, menunjukan bahwa 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil. Pengeluaran terbesar nelayan kecil adalah untuk membeli BBM yang meliputi 60-70% dari total biaya melaut. Bahkan nelayan kecil membeli BBM dengan harga 30-40% lebih mahal dari harga umum.
- Rancangan teks yang dibahas saat ini menimbulkan diskriminatif bagi nelayan kecil. Karena membatasi jarak tangkap bagi nelayan kecil untuk menangkap ikan (beroperasi) hanya sejauh 12 NM. Jika nelayan melakukan penangkapan ikan di atas 12 NM maka negara tersebut tidak diperbolehkan memberikan subsidi kepada nelayan. Ini tidak adil dan diskriminatif. Sebab dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, nelayan kecil sering menangkap ikan di atas 12 NM, bahkan nelayan tradisional di kawasan Laut Timor (Provinsi NTT) melaut hingga ke perbatasan perairan Australia. Padahal UNCLOS menjamin hak kedaulatan penuh atas zona ekonomi eksklusif termasuk zona kontinental hingga 250 NM. Untuk itu, WTO akan mengancam kedaulatan nelayan sebagai rights holders dengan pembatasan 12 NM. Disamping itu terdapat wilayah tangkap nelayan di perairan, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang diberikan izin pertambangan (pasir laut, pasir besi, dan mineral) dan reklamasi. Data KIARA menunjukkan terdapat 11 provinsi yang mengalokasikan ruang untuk pertambangan (pasir laut, pasir besi, dan mineral) serta 28 provinsi yang mengalokasikan ruang untuk reklamasi di Indonesia. Ini berdampak pada semakin jauhnya ruang tangkap nelayan, serta sumber daya perikanan yang semakin langka di wilayah pesisir akibat proyek pertambangan dan reklamasi.
- Kapal-kapal besar dan industri perikanan skala besar tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka yang melakukan IUU Fishing, Over Capacity dan Overfishing. Rancangan teks yang dibahas tidak menargetkan bagi kapal-kapal besar, padahal seharusnya mereka lah yang dimintai pertanggungjawaban dengan pemberian subsidi yang besar. Termasuk didalamnya negara maju yang memberikan subsidi sangat besar di sektor perikanan.
- Data menunjukkan bahwa angka subsidi perikanan global sebesar USD 35,4 miliar setiap tahunnya, dan sebanyak USD 22 miliar digunakan untuk subsidi yang merugikan. Terdapat lima negara yang memberikan subsidi sangat besar di sektor perikanan, yaitu: Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Republik Korea, dan Jepang. Seharusnya subsidi mereka yang dilarang dan atau dibatasi dalam aktivitas yang merugikan di sektor kelautan dan perikanan.
- Fleksibilitas yang tidak memadai – Banyak negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa dan ingin memperluas area pengelolaan perikanan tradisional yang dilindungi serta armada perikanan kecil dan tradisional untuk menangkap ikan di perairan mereka sendiri tanpa harus bergantung pada armada luar. Untuk mencapai hal ini, diperlukan subsidi, namun perjanjian subsidi perikanan WTO ini mempersulit hal tersebut. Pembagian negara-negara berkembang berdasarkan persentase tangkapan laut global (di bawah atau di atas 0,8% berdasarkan naskah Ketua Perundingan saat ini) melemahkan prinsip-prinsip perlakuan khusus dan berbeda dan tidak mencerminkan kapasitas domestik yang dimiliki anggota untuk memenuhi kewajiban perjanjian. Salah satu hal yang terpenting adalah kemampuan negara-negara berkembang untuk dapat mengakses fleksibilitas yang diberikan bergantung pada pemenuhan persyaratan pemberitahuan yang ditetapkan, yang melampaui persyaratan perjanjian subsidi yang ada.
- Keprihatinan kami dalam rancangan teks saat ini terhadap langkah-langkah pengelolaan perikanan. Di mana naskah subsidi perikanan yang ada saat ini masih memperbolehkan subsidi yang dilarang untuk terus berlanjut asalkan terdapat bukti bahwa stok ikan yang ditangkap dikelola secara berkelanjutan. Ini adalah klausul yang berat sebelah dan tidak adil karena akan menguntungkan negara-negara yang memiliki mekanisme pemantauan yang canggih, yaitu negara-negara maju, untuk terus mensubsidi armada mereka.
- Ketentuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment-S&DT) merupakan hak bagi negara berkembang – kurang berkembang termasuk Indonesia. Dalam naskah yang ada saat ini, tidak ada pengecualian yang jelas bagi nelayan kecil di negara berkembang untuk tetap mendapatkan subsidi. Justru S&DT itu terbalik, di mana negara maju maupun armada besar yang masih tetap diperbolehkan memberikan subsidi yang dilarang asalkan penangkapan ikan dikelola secara berkelanjutan. Ini tidak adil bagi nelayan kecil maupun pengelolaan perikanan di negara berkembang yang masih harus diperbaiki.
Oleh karena itu Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencaharian dan kedaulatan para nelayan serta sektor perikanan secara keseluruhan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat Indonesia.
Endorsed by:
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN)
- Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA)
- Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA)
- Layar Nusantara
- Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
- Forum Masyarakat Adat Pesisir (FMAP)
- Forum Peduli Pulau Pari (FPPP)
- Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke
- Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Dadap
- Kelompok Nelayan Rawatan Samudera Masalembu
- Persatuan Nelayan Masalembu (PNM)
- Kelompok Nelayan Tawang Rowosari Kendal
- Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton