Isu Perlindungan Masyarakat ASEAN Terhadap Dampak Investasi Jadi Fokus Utama APF
Jakarta, 29 Agustus 2019, Derasnya arus investasi ke kawasan ASEAN, baik yang dihasilkan dari berbagai perjanjian perdagangan bebas maupun pembiayaan proyek infrastruktur kenyataannya lebih berdampak negatif bagi masyarakatnya. Bahwa isu-isu seperti impunitas korporasi, pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan selalu menyertai ketika investasi masuk. Oleh karena itu muncul desakan agar negara-negara ASEAN lebih menjamin perlindungan terhadap masyarakatnya terhadap dampak negatif dari investasi. Hal itu mengemuka pada acara ASEAN PEOPLE’S FORUM (APF) 2019 yang digelar pada tanggal 17-19 September 2019 di Bangkok, Thailand.
Pada presentasi dalam sesi konvergensi mengenai perdagangan dan keadilan, Muhammad Teguh Maulana staff penelitian dan advoksi isu kesehatan, menekankan pentingnya perlindungan bagi masyarakat terhadap dampak negatif investasi. “Hal ini selalu luput untuk dimasukkan sebagai muatan pada berbagai perjanjian perdagangan bebas dan investasi yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN” Sebutnya. Hal ini juga termasuk dalam perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (RCEP) antara ASEAN dengan lima mitra dagang utamanya yang akan diselesaikan jelang akhir tahun ini.
Teguh menjelaskan, “Ini berbanding terbalik dengan lebih banyaknya jaminan perlindungan terhadap investor. Bukan hanya investasinya saja yang dilindungi, bahkan investor bisa menggugat pemerintah jika merasa investasinya dirugikan oleh tindakan pemerintah.” Hal ini menurutnya akan menyulitkan pemerintah negara-negara ASEAN untuk menyusun kebijakan atau regulasi yang ditujukan untuk melindungi kepentingan masyarakatnya. “Sebab dalam banyak kasus, negara digugat oleh investor karena membuat kebijakan yang merugikan investasinya. Padahal tujuannya untuk melindungi kepentingan masyarakatnya. Contohnya dalam kasus Eli Lilly vs Pemerintah Kanada atau Phillip Morris vs Pemerintah Australia. Kedua negara tersebut digugat karena mengeluarkan kebijakan untuk melindungi kesehatan masyarakatnya dari monopoli paten obat dan tembakau” tambahnya.
Lebih jauh lagi negara asal investor, misalnya seperti AS dapat melakukan balasan terhadap negara yang merugikan investornya. Teguh mencontohkan, “Bukan hanya menggugat melalui WTO, AS dapat menempatkan negara yang dianggap merugikan investornya dalam daftar pengawasan prioritas. Hal ini akan berdampak negara tersebut tidak dapat menerima preferensi sebagai mitra dagang atau lebih buruk mendapat sanksi perdagangan dari AS.” Hal ini menurutnya pernah dialami oleh Indonesia ketika mengeluarkan lisensi wajib bagi beberapa paten obat ARV yang dimiliki oleh perusahaan farmasi AS. Indonesia kemudian dimasukkan ke dalam daftar tersebut dan dipertimbangkan untuk tidak lagi mendapat preferensi bagi ekspor komoditinya ke AS.
Oleh karena itu di akhir presentasinya, Teguh kembali menegaskan jika negara-negara ASEAN tidak mampu memberikan komitmennya untuk memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakatnya dari dampak negatif investasi, lebih baik RCEP tidak disahkan. “Banyak pasal-pasal dalam RCEP akan lebih banyak merugikan kepentingan masyarakat. Contohnya pasal-pasal pada bab perlindungan HKI yang akan memberikan monopoli paten obat-obatan lebih lama bagi perusahaan farmasi. Hal ini akan mengancam akses obat-obatan terjangkau bagi masyarakat” pungkasnya.